Sebuah Perjalanan

“..Jadi tak?”
“Hmm.. kalo jadi emang gapapa? Ortu mu gimana? Takut sampe malem lagi..aku baru nyampe Smansa. Tadi sawangan macet parah.”
“Ya aku mah gapapa, asal kamu bisa pulang.”
“Okey.”
*otw*

Memang sudah niat dari jauh-jauh hari sebelumnya, selepas berkegiatan saya mau langsung pergi ke rumah Ulfa untuk belajar persiapan ujian. Qodarullah, Ayah dari teman seperjuangan saya meninggal. Jadilah saya bertakziyah sebentar ke rumahnya yang bertempat di Sawangan sebelum pergi ke rumah Ulfa.
Sepulang dari Sawangan, saya memesan grab*bike dan menunggu di Indo*maret untuk melanjutkan niat awal saya, yaitu ke rumah Ulfa.
Di tengah perjalanan, saya teringat hutang juz saya yang belum lunas dan memutuskan untuk mencicilnya sembari di motor.
Perjalanan biasa-biasa saja hingga akhirnya grab*bike yang saya tumpangi ngerem mendadak— menabrak motor di depannya — lalu terjatuh miring ke kiri.
Kagetnya, setelah miring ke kiri, motor yang saya tumpangi ditabrak lagi oleh motor di belakang saya yang sedang melaju cukup kencang. Motor itu pun akhirnya jatuh, dan ditabrak lagi oleh motor yang lain di belakangnya.
Allah..
Saya merasa berhadapan dengan maut. Tapi Allah yang Mahabaik membuat saya tidak merasa sakit sedikit pun.
Sebelum motor yang saya tumpangi benar-benar jatuh miring ke kiri dan menyentuh aspal, saya berusaha untuk mengeluarkan kaki kiri saya (yang hampir tertiban) untuk keluar lalu kemudian berhasil berdiri di samping motor dan tidak ikut benar-benar terjatuh.
Saya melihat sekitar, dan ternyata ini tabrakan beruntun 6 motor!
“Neng, neng gapapa??”
“…”
“Neng, neng ada yang sakit gaak? Duh sakit banget ini…”
“Eh? Hmm… iya, pak saya gakenapa-kenapa.. ga sakit sama sekali.”
Saya terdiam dan masih memperhatikan sekitar. Jujur, saya sangat kaget dan bingung mau melakukan apa. Saya hanya diam dengan tubuh mematung.
Alhamdulillah, kejadian itu tidak menimbulkan korban maut. Hanya luka ringan dan kerugian-kerugian kecil untuk memperbaiki kerusakan body motor yang copot (pecah) dan tergores aspal.
Kemarin, saya belajar. Bahwa persiapan kematian itu sangatlah penting di samping persiapan ujian. Kedua-duanya memang sama-sama terjadwal. Tapi kematian seperti menuntut kita untuk lebih mempersiapkannya dengan sangat matang dan lebih awal. Karena, ngga ada yang namanya remedial kehidupan. Pun kematian, walaupun sudah terjadwal, ngga ada yang pernah benar-benar tau, kan.. kapan ia akan datang?

Ps: mungkin bisa dibayangkan, apabila Allah mencabut nyawa saya saat itu juga. Apa yang sudah saya persiapkan? :(

Azka Nada Fatharani

Hanya seorang makhluk mikroskopis yang sedang berkelana mencari makna, mengumpulkan bekal di bumi-Nya. Tulisan di sini adalah ruang katarsis media pengingat untuk penulis pribadi sebenarnya.

No comments:

Post a Comment