Angin malam berhembus. Menyapukan debu, juga daun-daun kering dihamparan kota bernama Tokyo. Malam ini seperti ada yang beda, karena tidak semuanya sama. Walau kota ini masih saja ramai dengan hiruk pikuk penduduknya yang sedang beraktivitas. Masih pula bercahaya dengan pancaran neonnya yang amat memilaukan bak berlian di sudut malam kegelapan bumi. Dan kota ini, masih pula rapi dalam menyimpan sejarah serta harapan para penduduknya. Sejarah dan harapan yang barangkali membuat penduduknya datang, atau pergi dari kota ini.
Sekali
lagi, angin malam berhembus. Namun kali ini terasa lebih lepas, seperti ada
yang ingin dihempaskan. Sampai akhirnya mengibas lembut jilbab Azra yang tengah
berdiri di balkon kamarnya, sembari memegang secarik kertas. Raut wajahnya amat
sulit ditebak. Seperti ada perasaan sedih, campur bangga dalam dirinya. Padahal,
pagi di hari itu baru saja ia diwisuda. Aneh kalau ia sedih, atau hal apapun
yang melibatkan perasaan hati gundah gulana.
Ternyata,
inilah yang tak sama, suasana hati Azra yang sedang diliputi perasaan dilema.
Dilihatnya kertas itu. Namun semakin dilihat, tumpahlah air matanya. Sungguh,
kertas apakah itu? Berani saja membuat tangisan seorang wanita.
Andaikan
langit bisa bicara, ingin rasanya menghibur Azra. Namun, apalah daya. Yang bisa
dilakukan hanyalah menampakan bintang untuk manusia. Dan malam ini langit tak
kuasa. Tak terbendung pula perasaannya. Perlahan langit mulai menurunkan
airnya, membasahi bumi. Ternyata langit ikut pula bersedih. Karena langit
benar-benar mengetahui segalanya. Segalanya yang terjadi di muka bumi, entah
itu dulu ataupun sekarang, tak terkecuali isi hati Azra.
Udara
semakin dingin dan menusuk. Rintikan hujan mulai datang berlomba, membasahi
bumi. Azra memutuskan untuk masuk kedalam kamar lalu duduk disamping TV. Kembali
ia buka secarik kertas dalam genggaman, yang nampaknya kertas itu sungguh
sangat berarti.
Ternyata,
kertas itulah yang membuat semangatnya terus membara. Yang membuat mimpinya
(mungkin) menjadi nyata. Dan kertas ini pula yang membuatnya ingin kembali ke
Jakarta, kampung halamannya. Namun, kenapa sekarang ia menangis? Bukankah
semangat yang harusnya ada? Azra melamun, mengingat kejadian yang pernah
terjadi.
*********************
Jakarta, September 2013
“Assalamu’alaykum,” bunyi sayup orang
mengucapkan salam sembari membuka pintu ruang tamu. Jam menunjukan pukul 23.10
WIB. Berarti memang sudah saatnya ada yang pulang. Tanpa melihat pun, Azra
sudah tahu siappa yang datang. Bang Azriel. Abang yang tidak menyayanginya. Tak
pernah peduli akan kehadirannya. Padahal, bang Azriel adalah satu-satunya
keluarga yang Azra punya. Ibunya meninggal tidak lama setelah melahirkan Azra. Sedangkan
bapaknya meninggal karena kecelakaan kerja.
Memang malang nasib Azra. Terbiasa pulang
ke rumah membawa tumpukan tugas sekolah, namun sesampainya di rumah harus
mengerjakan pekerjaan rumah. Tak ada pula yang bisa dijadikan tempat bercerita.
Atau bahkan sekedar tempat bertanya. Apalah daya, bang Azriel memang terlalu
sibuk. Atau hanya.. malah sok sibuk? Kalau pulang kerjaannya hanya di depan komputer.
Dan terkadang suka masuk ke dalam dapur untuk meminum obat-obatan yang tak
pernah Azra mengerti. Pergi pagi, pulang malam. Sudahlah. Azra sudah tak peduli
lagi. Karena nyatanya yang dipedulikan juga tak peduli.
Sekarang ini, Azra hanya ingin fokus
untuk mengejar mimpi. Karena sekarang, ia telah duduk di bangku kelas dua belas
SMA. Hanya tinggal selangkah lagi untuk menapaki dunia perkuliahan. Ia ingin
Tokyo Daigaku menjadi universitasnya. Merasakan hanami, dan juga hanabi di
negeri sakura.
Abangnya tahu betul akan mimpi
adiknya. Ketika itu, bang Azriel tidak berangkat kerja karena penyakit
parahnya menyerang. Memang sengaja Azriel tak berterus terang atas
penyakitnya kepada Azra. Agar Azra bisa fokus kepada pendidikannya saja.
Pagi itu di ruang tamu. Setelah
Azra pergi berangkat sekolah, tak sengaja bang Azriel temukan diary ungu milik
Azra. Isinya tentang curahan hati Azra yang ingin menjemput asanya di negeri
sakura, membanggakan kedua orang tuanya di surga. Dan Azra ingin membuat bang
Azriel menganggap bahwa dirinya itu ada.
Ia pun juga bercerita, bahwa dirinya sangat kesepian. Ia rindu akan kasih
sayang keluarga, yang dapat menenangkannya. Azra tahu, bahwa keluarganya pasti menyayanginya. Walau Azra sedikit ragu terhadap kakaknya, bang Azriel, yang
amat tak peduli akan kehadirannya.
Azriel sedih melihat isi dari diary
Azra. Terpapar jelas bahwa adiknya begitu kesepian. Mengutuk sudah Azriel
terhadap dirinya yang tak benar menjadi seorang kakak. Kemana saja ia saat adik
sekaligus keluarga semata wayangnya membutuhkan?
Dalam sepertiga malam, Azriel
selalu memohon ampun atas kesalahan dirinya. Tak lupa pula diselipkan doa yang
begitu tulus untuk orang tua, dan juga adik perempuannya. Adik yang amat
dicintainya, yang menjadi alasan kenapa ia terus pergi pagi dan pulang malam.
Setelah puas berdialog dengan-Nya,
Azriel dekati pintu kamar Azra dan mengetuknya. Hening. Tak ada
jawaban. Azriel memutuskan untuk membuka pintu kamar dan memasukinya. Rupanya,
si empu kamar telah tertidur pulas. Nafasnya berat seperti penuh dengan
beban. Namun wajahnya yang teduh begitu menenangkan. Diambilah kain untuk
menyelimuti adiknya. Dengan lembut Azriel melakukannya.
Seketika, Azriel merasa dadanya
sesak. Ia sudah tak tahan lagi, atas penyakit ini. Mungkin, sekarang waktunya. Azriel mencari secarik kertas untuk menulis surat. Ingin ada yang ditinggal rasanya sebelum pergi. Mulailah Azriel menggerakan pena dengan hati-hati. Tak
jarang air mata menetes hingga tinta diatas kertas menjadi buyar.
Azriel terus melanjutkan suratnya
hingga datanglah waktu yang dijanjikan. Nafasnya tercekat, dan gerakkan
tangannya kian melemah. Perlahan, tubuhnya menjadi dingin dan tak bergerak. Ini semua akan berakhir. Dan memang akan segera berakhir.
Asyhadu
alla ilaha illallah..
Malam itu, langit menyaksikan. Bagaimana
seorang kakak yang begitu tulus menyayangi adiknya. Mencoba untuk bersama
disaat detik-detik terakhir, setelah memanjatkan doa di sepertiga malam. Cahaya
bumi bersatu mengaminkan doa yang dipanjatkan. Semua telah terjadi, dan tertata
rapi di atas langit. Dan memang telah ditakdirkan pula bahwa Azriel berada di
titik akhirnya saat sedang menulis surat disamping Azra. Yang sekarang
benar-benar sendiri, karena ditinggal pergi oleh abangnya. Semoga, Azriel berhasil membuat yakin Azra, bahwa ia begitu menyayanginya. Benar-benar
menyayanginya.
***************
"Aku rindu ibu, sungguh aku ingin melihat wajahnya."
"Wajahnya mirip dengan mu. Sudah, tak perlu menangis. hanya membuang waktu."
Pasti kau ingin menghiburku kan, bang? maafkan aku, karena aku merasa tak terhibur
"Bang, sudah makan?"
"Sudah. Itu tinggal buat mu."
Namun keesokan harinya, engkau malah sakit, bang. benarkah kau makan?
"Ingin ku belikan bubur? Rasanya kemarin abang tak makan."
"Tak perlu. Pergi sekolah saja, abang bisa sendiri."
Barangkali, kau mengatakan hal itu karena takut aku teelat berangkat sekolah..
*****************
"Aku rindu ibu, sungguh aku ingin melihat wajahnya."
"Wajahnya mirip dengan mu. Sudah, tak perlu menangis. hanya membuang waktu."
Pasti kau ingin menghiburku kan, bang? maafkan aku, karena aku merasa tak terhibur
"Bang, sudah makan?"
"Sudah. Itu tinggal buat mu."
Namun keesokan harinya, engkau malah sakit, bang. benarkah kau makan?
"Ingin ku belikan bubur? Rasanya kemarin abang tak makan."
"Tak perlu. Pergi sekolah saja, abang bisa sendiri."
Barangkali, kau mengatakan hal itu karena takut aku teelat berangkat sekolah..
*****************
Langit
Tokyo masih saja hujan saat Azra telah tersadar dari lamunannya yang panjang. Untuk
kesekian kali, Azra memutuskan untuk membaca surat dari bang Azriel.
Assalamu’alaykum
Tahukah
kau Zra? Dulu abang yang sangat menantikan kelahiranmu. Karena abang tidak
ingin sendiri menjadi anak ayah dan ibu. Abang ingin memiliki teman, seperti
layaknya anak-anak lain di Jakarta. Dan tahukah kau Zra? Bahwa setiap malam
abang berdoa agar kau cepat lahir, cepat tumbuh juga agar kita bisa bertukar
pikiran.
Hingga
saatnya kau datang ke dunia ini dengan selamat, Zra. Namun ibumu, ibu kita,
mengalami pendarahan yang begitu hebat dan akhirnya tak terselamatkan. Dulu,
abang belum mengerti arti kehilangan. Hingga saatnya kejadian ini seperti
berulang lagi dan meninpa ayah kita. Ayah yang akhirnya selama beberapa tahun
merangkap pula menjadi seorang ibu. Zra, tahukah kau perasaan abang saat itu? Abang
bingung harus berbuat apa. Karena kita tinggal berdua, dan kaulah harta yang
paling berharga.
Abang
terus mencoba, berusaha, dan jadilah seperti yang kamu ketahui ini. Pergi pagi,
dan pulang malam. Abang bekerja Zra, menjadi apa saja. Demi mimpimu yang tanpa
sengaja abang ketahui itu. Maafkan pula abang mu yang tak selalu ada di sampingmu saat kau butuh seorang teman. Maafkan abang Zra, yang tak cerita atas penyakit
yang abang derita. Abang ingin kau fokus pada sekolah mu saja. Abang ingin
kau benar-benar nantinya menjemput mimpi, ke negeri sakura. Biarlah abang tak
menjadi orang, agar kau saja yang merasakannya.
Zra,
mungkin kau membaca surat ini ketika abang telah pergi. Laa Tahzan Zra,
Innallaha Maana.
Jadilah intan permata dalam
keluarga kecil yang tak pernah utuh ini. Banggakan bapak, dan juga ibu di surga.
Jadilah pula seperti pohon kurma yang begitu berguna walau tumbuh pada tanahnya
yang gersang. Pergilah untuk mengejar ilmu dan mengimplementasikannya setelah
kau dapatkan. Pergilah Zra, untuk mengejar mimpimu. Pergilah, untuk kembali.”
Abang menyayangi mu Zra.
Sungguh sangat menyayangi mu
Karena-Nya
Abang menyayangi mu Zra.
Sungguh sangat menyayangi mu
Karena-Nya
Ditutupnya
kertas itu dengan hati-hati. Sekarang, Azra tahu apa yang harus ia lakukan. Bergegas
ia membereskan baju dan juga kamarnya. Ia akan kembali ke Jakarta, menemui
abang dan juga orang tuanya yang telah terlebih dulu istirahat dalam peristirahat
terakhirnya. Azra ingin bertemu, bercerita banyak tentang mimpinya yang telah
menjadi nyata pada keluarganya. Walau tak mungkin untuk bertatap muka.
nb : cerpen untuk dik ammar :)
No comments:
Post a Comment