Entahlah



              
Percaya atau tidak, semua orang itu punya masalah. Dan dia sering menganggap masalahnyalah yang paling berat dibanding orang lain. Seperti aku, seorang makhluk mikroskopis di sekolah yang sering bilang capek untuk mengerjakan tugas ini itu. Yang sering merasa kepalanya penat karena dibebani tugas-tugas akademis dan tugas rumah lainnya ataupun tugas ekskul. Kadang kalau melihat kehidupan ‘seseorang’ ,  ingin rasanya bertukar posisi karena hidupnya terasa adem ayem, tidak ditekan dan tertekan, merasa banyak waktu lowong untuk berelaksasi. Surga.

Datang tepat waktu, dan pulang tepat waktu. Seperti robot yang patuh terhadap jam waktu. Punya aktivitas yang sama setiap harinya tetapi tidak cukup padat dan rapat. Pulang ke rumah, melepas beban sekolah, berinteraksi antar teman sebaya, bermain-tertawa, weekend liburan, nonton film, membaca novel, hang out, dan lain sebagainya menikmati surga duniawi. Mau.

Tapi bukan begitu. Ini kehidupan SMA yang sadar atau pun tidak aku telah memilihnya. Cukup capek punya tugas yang satu selesai tapi yang lain datang. Kadang kalau sedang begini hanya ingat orang yang selalu ada ‘di balik layar’ kehidupan dan semangat ku. Bunda dan Ayah. Orang yang tidak mengeluh untuk mengurus manusia ‘merepotkan’ dirumah.

Dapat diingat, bahwa pekerjaan rumah itu tidak-akan-pernah-selesai. Mencuci baju, mencuci piring, mengepel, menyapu, apakah itu semua akan berakhir? Tidak pastinya. Baju akan terus dipakai, piring akan terus digunakan, lantai akan terus diinjak sehingga berdebu. Semua itu butuh untuk dibersihkan secara berulang. Mustahil rasanya kalau pekerjaan itu dapat selesai. Dan untuk mencari nafkah? Kegiatan itu mungkin akan terus berlangsung sampai malaikat-malaikat di hidupnya gugur satu per satu dan tak bersisa pun hingga dirinya sendiri.

Sekarang, aku sudah kelas 11. Sejauh ini SMA aku lewati dengan mengikuti banyak kegiatan. Tak jarang lupa untuk makan. Lupa mengerjakan PR. Lupa belajar, dan lupa.. untuk membantu bunda.

Sebenarnya, aku biasa bertugas untuk membersihkan rumah. Sedangkan kakak ku, Ia menyapu halaman dan jalanan. Memang di rumah ada pembagian piket seperti ini. Awalnya berat, tapi lama-lama ya biasa saja. Jujur, rasa malas itu selalu datang untuk menghantui. Mungkin karena aku yang terlalu berkutat dengan tugas sekolah dan masih saja memikirkan diri sendiri. Tapi aku harus tau kalau ternyata hal seperti ini yang membuat aku bisa hidup mandiri di kemudian hari. Tidak mengandalkan orang lain.

Masih banyak yang harus dibenahi dari diriku. Apalagi kalau melihat hasil ulangan. Ada beberapa yang memuaskan, tapi ternyata banyak juga yang mengecewakan. fyuh. Buruk atau pun tidak, ya harus diterima. Karena inilah usaha ku, usaha ku sendiri. Setidaknya kejujuranlah yang masih ku pegang nomor satu. Ini hidupku, aku yang melakukan, aku yang menggerakan, aku yang memilih, dan aku yang mengambil resiko. Bukankah begitu?

Terasa bodoh atau memang. Aku sering mengenyampingkan hal yang sepatutnya sungguh aku kerjakan dan menjadi prioritas. Membalas budi orang tua walau sampai kau, aku, dan semua manusia di muka bumi ini dapat menjilat siku dan melihat telinganya sendiri tanpa mengunakan kaca itu pun tidak akan pernah bisa.

Berat rasanya, dan malu aku untuk mengeluh dihadapan bunda dan ayah ketika aku merasa capek. Bunda dan ayah  akan semakin menua, fisiknya kian melemah. Bukan saatnya lagi untuk mereka mengemban pekerjaan yang begitu banyak dan  berat. Pekerjaan itu sebentar lagi mungkin akan jatuh pada ku nantinya. Semua bergerak berkembang dan berubah. Aku harus bergerak, membantu manusia mulia yang membuat ku ada.

Azka Nada Fatharani

Hanya seorang makhluk mikroskopis yang sedang berkelana mencari makna, mengumpulkan bekal di bumi-Nya. Tulisan di sini adalah ruang katarsis media pengingat untuk penulis pribadi sebenarnya.

No comments:

Post a Comment