Pelajar saat ini?



           
     Kebebasan merupakan hal mendasar yang diinginkan makhluk hidup. Tidak hanya manusia, tumbuhan dan hewan pun juga. Tumbuhan akan cepat tumbuh jika Ia berada di alam bebas, bukan di dalam sebuah botol kedap udara. Sedangkan hewan, Ia akan tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya ketika Ia di luar kandang, bukan di dalam kandang sempit yang mengekang.
                Begitu pula pada manusia. Kebebasan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan eksistensi dirinya dalam hidup. Dengan kebebasan, manusia bisa bebas berkarya, mengemukakan pendapat, dan menciptakan hal baru. Dengan begitu, manusia bisa dikenal oleh masyarakat luar yang membuat diri manusia itu sendiri merasa bermanfaat dan dibutuhkan oleh orang lain. Dengan adanya perasaan seperti itu, motivasi hidup dalam dirinya akan semakin besar dan membuat dia terus berkarya dan berekspresi.
                Sebaliknya, jika manusia terus terkekang dan terikat, bisa-bisa Ia hanya seperti bom nuklir yang di museumkan. Berpotensi untuk mengeluarkan aksi yang menimbulkan reaksi, namun tidak bisa beraksi karena tertutup, terikat, dan terisolasi.
                Seperti pada dewasa ini, para pelajar muda yang cenderung hanyut kepada rutinitas pergi ke sekolah lalu mengunci dirinya di dalam kamar demi menghatamkan buku dan jutaan teori juga rumus di dalamnya, lebih memilih untuk mengejar nilai diatas kertas. Bukan nilai kehidupan lagi yang dicarinya. Seperti seonggok jagung di kamar.
                Bukankah hidup itu pilihan? Tidak ada lagikah pilihan yang bisa Ia pilih? Ya, sebenarnya ada. Tapi, pastilah semua pilihan punya resiko. Serba salah memang, jika Ia tidak menghapal jutaan teori dan rumus  di dalam buku itu. Mau apa Ia saat ulangan?
                Mencontek? Apakah mencontek itu cerminan dari orang yang terdidik dan terpelajar, mengingat bahwa Ia masih sebagai pelajar? Dan, mau apa dia saat kertas ulangan telah sampai di tangan orang tua, lalu melihat air muka mereka menyatakan kekecewaan? Bisakah Ia mencopot mukanya dulu dan membuangnya sejauh mungkin agar Ia bisa menahan malu terhadap dirinya, juga terhadap orang tuanya? Semua orang tahu, jawabannya tidak.
                Lain lagi kalau ia tetap memilih untuk menjadi seonggok jadung dikamar. Tetap diam dan tidak mengenal dunia luar, dan telah menghapal jutaan teori juga rumus dari orang-orang terdahulu. Dia mungkin akan sangat berhasil melalui ujian teori di atas kertas. Tapi bagai mana dengan ujian di kehidupannya yang nyata? Mungkin akan tetap berhasil, tapi akan jauh berbeda hasil.
                Apakah karena pendidikan sekarang ini yang terlalu menuntut para pelajar untuk meraih nilai ulangan di atas kertas yang sangat gemilang pada setiap mata pelajaran? Sehingga membuat para pelajar gila untuk menghapal jutaan teori serta rumus di dalam buku. Mengunci diri pada keadaan yang sekarang benar-benar terjadi pada abadnya, bukan abad para tokoh teori yang Ia hapalkan lagi. Alangkah baiknya jika Ia mampu untuk menyeimbangkan diri. Dengan memahami beberapa teori dari tokoh terdahulu itu dengan disambung dengan amalan-amalan kecil yang mampu merubah dan menginspirasi dunia. Bukan hanya dihapalakan lalu di keluarkan saat ulangan saja, tapi juga di praktekan dalam keseharian.
                Keseimbangan itu masih dibutuhkan. Keseimbangan untuk kuat pada teori, dan keseimbangan untuk mempraktekan teori itu. Bukan hanya teori dari para tokoh terdahulu, tapi juga bisa timbul seadanya dari diri sendiri dengan membaca kejadian yang terjadi, untuk menjadi bahan pembelajaran pada kehidupan sehari-hari. Memang ada yang bilang, teori itu sangat dibutuhkan dalam praktek. Tapi, apakah praktek selalu sejalan dengan teori? Kita harus mengkaji lagi, dan membuktikan bahwa kebebasan itu nyata. Bukan hanya sekadar mitos belaka, yang di pertanyakan keberadaannya, bagi mereka, sang seonggok jagung di kamar.
                Mengingat kata ‘ pintar ‘ masih terlalu luas untuk disempitkan menjadi mereka yang mendapatkan nilai gemilang diatas kertas saja, aku berharap masih ada diluar sana orang yang dapat merubah paradigma dari sebagian orang yang lain bahwa ‘pintar’, beraneka ragam dalam diri seseorang. Miris rasanya melihat banyak orang ‘pintar’ namun tak bisa mengontrol emosinya. Miris juga melihat orang ‘pintar’ menzolimi orang yang lain. Dan miris aku melihat orang yang ‘pintar’ tapi menzolimi dirinya sendiri.
                Karena orang yang bermanfaat bagi orang lain adalah Ia yang berilmu dan juga beramal, orang yang pintar akan semakin pintar setelah bermanfaat dan merasa berkah ketika Ia membagi ilmunya dan juga mengamalkannya.

Pun sejujurnya, saya masih berusaha akan hal ini..

ps. tulisan ini dibuat untuk tugas bahasa indonesia tentang seonggok jagung di kamar pelajarannya Bu Ida. wkwkw

Azka Nada Fatharani

Hanya seorang makhluk mikroskopis yang sedang berkelana mencari makna, mengumpulkan bekal di bumi-Nya. Tulisan di sini adalah ruang katarsis media pengingat untuk penulis pribadi sebenarnya.

No comments:

Post a Comment